Home / tangkasbet.web.id / Terorisme Belia dan Pengaruh Media Sosial

Terorisme Belia dan Pengaruh Media Sosial

[ad_1]

Terorisme Belia dan Pengaruh Media Sosial
(MI/Seno)

PELAKU teror di era masyarakat digital jangan dibayangkan orang-orang dengan keterikatan pada ideologi dan agama yang kebablasan. Mereka tidak harus pernah ikut berperang di Suriah, Afghanistan, atau menjadi anggota jaringan terorisme internasional yang biasanya melakukan indoktrinasi untuk memperoleh loyalitas pendukung.

Di era masyarakat postmodern, pelaku teror bukan tidak mungkin anak-anak belia yang belajar secara mandiri aksi teror melalui media sosial. Pelaku peledakan masjid di SMAN 72 Jakarta pada Jumat, 7 November 2025 lalu adalah salah satu contoh pelaku teror yang berasal dari generasi Z.

Insiden peledakan di SMAN 72 telah memicu diskusi luas mengenai ‘terorisme belia’, dan pertanyaan yang muncul ialah kenapa remaja belia yang mestinya menikmati masa bermain dan belajar, ternyata terpengaruh melakukan aksi yang mencelakakan banyak orang.

Dilaporkan, jumlah korban dalam insiden itu mencapai 96 orang, dan beberapa di antaranya sempat kritis. Walaupun tidak ada korban yang meninggal dunia karena ledakan, kini masyarakat resah dan berusaha mencari langkah-langkah apa yang dibutuhkan untuk mencegah agar remaja belia tidak terkontaminasi konten kekerasan di berbagai media sosial yang memengaruhi mereka.

 

MEDIA SOSIAL

Media sosial dewasa ini adalah platform teknologi digital yang memungkinkan orang untuk berhubungan, berinteraksi, memproduksi, dan berbagi isi pesan. Media sosial sebagai sebuah aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content (Sugihartati, Suyanto & Sirry, 2020). Media sosial dapat memainkan peran penting dalam penyebaran informasi dan pengaruh terhadap pembentukan opini publik, termasuk perilaku kekerasan dan intoleransi (Burke, Diba & Antonopoulos, 2020).

Jika dibandingkan dengan pengaruh interaksi sosial, penyebaran informasi kekerasan dan intoleran melalui media sosial memiliki kecepatan yang jauh lebih masif. Ketika seseorang memiliki lingkungan pergaulan yang mendukung intoleransi maka dengan cepat mereka akan terpengaruh. Seperti dikatakan teori identitas sosial (social identity theoryMo<), individu membentuk identitas sosial mereka melalui kelompok-kelompok yang mereka ikuti, termasuk kelompok-kelompok yang intoleran.

Secara garis besar, faktor-faktor yang memengaruhi intoleransi di media sosial ialah: (1) Konten yang intoleran; (2) Interaksi dengan kelompok intoleran, (3) Kurangnya literasi digital, dan (4) Penggunaan media sosial yang berlebihan (Hobbs, 2010; Király, Potenza, Stein, King, Hodgins, Saunders, & Demetrovics, 2019).

Dampak konten kekerasan dan intoleran di media sosial terhadap munculnya sikap intoleran bukan sekadar pada netizen yang mengaksesnya, tetapi juga pada netizen lain yang mendapatkan sebaran informasi kekerasan dan intoleransi. Pada era di saat era informasi menggantikan era industri, pengguna media sosial tidak lagi menjadi audiens pasif, melainkan aktif berpartisipasi dalam ruang interaktif –di mana audiens selalu mempunyai peluang memproduksi konten lebih banyak. Dengan memanfaatkan media sosial sebagai ruang interaktif, audiens bisa menjadi konsumen serta produsen informasi (Bruns & Jacobs, 2007).

Studi yang dilakukan Suyanto dkk (2025) menemukan bahwa di kalangan generasi Z, keterlibatan mereka pada media sosial di satu sisi menawarkan kemudahan, tetapi di sisi yang lain juga menawarkan godaan bahkan pengaruh yang buruk. Kepemilikan dan akses anak muda pada media sosial berisiko menempatkan mereka rawan terpapar konten-konten kekerasan dan intoleransi. Banyak anak muda tertarik dan ingin melihat konten-konten kekerasan dan intoleransi. Sebagian setelah membaca kemudian menghapus, tetapi ada pula yang kemudian meresirkulasi kepada warganet yang lain.

Penyebaran konten kekerasan dan intoleransi di media sosial pada batas-batas tertentu memengaruhi sikap intoleran anak muda. Meski bukan pengaruh yang benar-benar signifikan, bagaimanapun ada sebagian anak muda yang terpapar dan kemudian memengaruhi sikap mereka untuk menarik batas antara kelompok dirinya dan kelompok yang berbeda.

 

LITERASI KRITIS

Di media sosial, selama ini ujaran kebencian dan konten intoleran yang muncul umumnya menargetkan individu berdasarkan etnis dan kebangsaan, hasutan untuk membenci berdasarkan agama, kelas, jenis kelamin, dan orientasi seksual meningkat.

Studi yang dilakukan di Italia, misalnya, melaporkan temuan proyekItalian Hate Map‘, yang menggunakan metode analisis konten semantik berbasis leksikon untuk mengekstrak 2.659.879 cuitan tweets (dari 879.428 profil Twitter) selama 7 bulan; 412.716 dari tweets ini berisi istilah negatif yang ditujukan pada salah satu dari enam kelompok sasaran. Dalam tweets yang dilokalkan secara geografis, perempuan merupakan kelompok yang paling banyak dihina, setelah menerima 71.006 tweets yang mengandung kebencian (60,4%), diikuti oleh imigran (10,4%), kaum gay dan lesbian (10,3%), Muslim (6,4%), Yahudi (6,4%), dan penyandang disabilitas (6,1%) (Lingiardi, Carone, Semeraro, Musto, D’Amico & Brena, 2020).

Di era infomasi, kehadiran internet yang memungkinkan media sosial berkembang meluas terbukti memengaruhi konteks sosial di mana kultur kekerasan dan intoleransi terbentuk. Dengan menggunakan data dari Survei Nilai Dunia 2010–2014, studi yang melakukan analisis multilevel terhadap 48.841 responden di 33 negara, hasilnya menunjukkan beberapa efek yang berlawanan (Lu & Yu, 2020). Pertama, intoleransi diperkuat oleh penetrasi internet sebagai sebuah konteks, tapi dikurangi dengan penggunaan internet sebagai media oleh individu. Kedua, efek penetrasi internet dilawan oleh partisipasi internet, yang membangun demokrasi kuat yang berfungsi menyanggah dampak informasi internet.

Netizen yang tidak memiliki literasi kritis umumnya mudah terpengaruh dan sering kali menelan mentah-mentah konten intoleran yang diakses (Faizin, 2024; Kim & Lee, 2020). Hal ini berbeda jika netizen memiliki kemampuan literasi kritis yang baik. Dengan didukung sikap kritis, niscaya hal itu akan mampu mengamankan status netizen dari penerima pasif yang sekadar mengonsumsi ide-ide penulis menjadi pemikir kritis yang selalu mengembangkan pertanyaan kritis tentang penulis dan teks, meneliti informasi atau ide-ide (McLeod & Vasinda, 2008).

Yang dimaksud literasi kritis di sini adalah kemampuan di mana pembaca sebagai partisipan aktif dalam proses pembacaan, dan menjadikan praktik tersebut bergerak melampaui kepasifan menuju penerimaan pesan teks dengan disertai pertanyaan, pengujian, atau mengkaitkan dengan suatu kekuasaan yang hadir di antara pembaca dan penulis (McLaughlin & DeVoogd, 2004).

Generasi Z yang didominasi anak-anak muda menjadi pengguna paling aktif media sosial sekaligus ditengarai sebagai kelompok yang paling rawan mendapatkan pengaruh buruk informasi yang disebarluaskan di media social (Bosi, Lavizzari & Portos, 2022; Al-Rawi, 2020). Bukan tidak mungkin, karena pengaruh ujaran kebencian, hoaks, dan penyebarluasan ideologi yang radikal di media sosial, generasi Z tumbuh menjadi sosok yang intoleran dan kemudian mengembangkan praktik-praktik sosial yang meresahkan.

Ruang digital yang aman bagi anak dan remaja dewasa ini mutlak dibutuhkan. Kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta yang diduga dilakukan salah satu siswa adalah sebuah pelajaran berharga. Siswa belia yang di luar tampak pendiam, tiba-tiba mengejutkan kita semua tatkala ia ternyata sosok yang kesepian dan rawan tergoda konten media sosial yang banyak menawarkan jalan kekerasan. Semoga kita belajar dari kasus SMAN 72.

 

[ad_2]

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • slot qris deposit 5000
  • link gacor
  • Slot Scatter Hitam
  • Slot Mahyong PG SOFT
  • Slot Cuan Dari Modal Minim
  • PGSOFT SLOT ONLINE